MANGUPURA - Lembaga adat seperti desa adat, banjar adat, subak, sekaa teruna (ST) terancam tak lagi kecipratan dana hibah dari Pemkab Badung. Pasalnya dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa yang bisa diberikan belanja hibah adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, BUMN atau BUMD, Badan Lembaga dan Organisasi Kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia. Menyikapi hal ini Pemkab Badung telah melayangkan surat ke Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) guna mempertanyakan penggunaan belanja hibah tersebut.
Selama ini, Pemkab Badung menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk seluruh lembaga adat yang ada di Badung. Baik itu desa adat, banjar adat, dan yang lain. Namun karena persoalan regulasi pemerintah daerah, khawatir jika pemberian dana hibah melabrak ketentuan dapat menjadi temuan. Dan yang kena imbas selain pemberi juga penerima.
Surat dari Pemkab Badung yang langsung ditandatangani Bupati Badung AA Gde Agung, telah resmi dilayangkan, terhitung tertanggal 9 Juli 2015. Dalam surat itu Pemkab Badung memohon persetujuan terkait dengan ketentuan pada Pasal 296 ayat (4) dan ayat (5).
Dalam ayat (4) disebutkan ‘Belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan’. Sedangkan ayat (5) berbunyi ‘Belanja hibah sebagai mana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada : (a) pemerintah pusat, (b) pemerintah daerah lain, (c) BUMN atau BUMD, (d) Badan lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia’.
Bupati Gde Agung dalam bunyi suratnya mengatakan bahwa pasal 296 ayat (5) dalam implementasinya menimbulkan penafsiran hukum khususnya pada kata ‘lembaga’. Mengapa? mengingat lembaga adat seperti desa adat, tempat ibadah (pura), banjar adat, subak, sekaa teruna-teruni, merupakan sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang telah ada dan diakui secara turun temurun oleh masyarakat. Lembaga tersebut juga membantu pemerintah dalam pembangunan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, Pemkab Badung minta agar lembaga itu tetap diberikan kucuran hibah. “Mohon persetujuan (Mendagri) kami melaksanakan APBD 2015 dan merancang APBD 2016 untuk memberikan hibah kepada lembaga-lembaga tersebut,” kata Gde Agung dalam suratnya.
Selain menjadi perhatian pemerintah, masalah ini juga menjadi perhatian serius kalangan legislatif. Kalangan legislatif Badung juga berencana menggelar konsultasi ke Kemendagri. Selama ini legislatif juga menjadi pihak yang menyalurkan bantuan hibah tersebut sampai kepada masyarakat.
Pada APBD Badung tahun 2015 belanja hibah dipasang Rp 183,4 miliar lebih. Terdiri dari belanja hibah kepada badan/lembaga/organisasi sebesar Rp 112,8 miliar lebih, dan belanja hibah kepada kelompok/anggota masyarakat sebesar Rp 70,6 miliar. Dimana dari anggaran tersebut sebesar Rp 46 miliar dialokasikan oleh anggota DPRD. Tiap-tiap anggota mengalokasikan Rp 1 miliar, kecuali ketua dan wakil-wakil ketua mendapatkan lebih. Nah, kabar tak mengenakan yang disampaikan eksekutif ini membuat ‘stress’ anggota dewan. Pasalnya mereka telah menyampaikan dan menjanjikan kepada masyarakat. Makanya dengan langkah pemerintah tersebut oleh dewan dinilai sudah tepat.
Ketua Fraksi Golkar DPRD Badung IGN Shaskara saat ditemui di gedung dewan, Kamis (23/7), menyatakan, prinsipnya dewan sangat mendukung lembaga adat harus mendapat penguatan hibah dari pemerintah. Apalagi, katanya, lembaga adat ini sangat membantu pemerintah dan sudah ada sebelum negara ini ada. “Kami pun memiliki pemikiran sama dengan bapak bupati. Lembaga adat seperti desa adat, banjar adat, subak dan pura harus dapat hibah,” katanya. Sebagai wakil rakyat, pihaknya mengaku akan ikut memperjuangkan agar hibah tetap mengucur ke lembaga adat. “Kami pun akan mengkonsultasikan masalah ini,” tegasnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Ida Bagus Anom Bhasma, mengatakan selama ini pemerintah mengucurkan hibah kepada desa adat sekitar Rp 200 juta setiap tahun. Namun, dirinya menolak memberikan komentar terkait masalah UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang dapat mengganjal pemberian hibah kepada lembaga adat tersebut. “Memang selama ini desa adat itu dapat hibah Rp 200 juta, tapi lebih jelasnya mengenai masalah hibah coba hubungi Pak Sekda,” pintanya.
Lalu bagaimana nasib lembaga adat seperti desa adat jika tidak menerima suntikan hibah lagi? Anom Bhasma lagi-lagi tak memberikan komentar banyak, ia pun hanya menjawab apa yang diketahuinya. “Yang saya ketahui tidak lagi dalam bentuk hibah diberikan tapi dalam bentuk kegiatan. Dan itu dananya masuk dalam APBDes, jadi melalui desa,” tandasnya sembari menyebutkan jumlah desa adat di Badung sebanyak 122 desa adat. Sekda Badung Kompyang R Swandika belum bisa dimintai penjelasan mengenai hal ini. Dihubungi melalui sambungan telfon tidak aktif.
sumber : nusabali