PSK Remehkan Perda Prostitusi, ‘Pemerintah Dapat Duit Banyak dari Sini’
DENPASAR - Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar, Bali sudah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum.
Dalam perda tersebut, baik penyedia, pengguna, dan orang yang menawarkan jasa prostitusi dikenakan sanksi pidana dan denda sebesar Rp 50 juta.
Artinya, tidak saja penyedia atau pengusaha yang menyediakan layanan prostitusi—baik dalam bentuk lokalisasi, panti pijat plus-plus, dan sebagainya—yang akan gencar dibina sampai dikenakan sanksi hukum oleh pemerintah dan pihak kepolisian.
Perda ini akan mulai diberlakukan pada 2016 mendatang.
Menanggapi hal tersebut, berbagai reaksi muncul dari masyarakat, pengusaha, pegiat HIV/AIDs termasuk dari kalangan PSK.
Seperti tanggapan seorang PSK di salah satu lokalisasi di Jalan Danau Tempe, Sanur Kauh, Denpasar Selatan, Bali, berinisial YN.
YN menganggap remeh dan tidak percaya pemerintah berani menutup tempat lokalisasi.
Adanya Perda baru Pemkot Denpasar yang akan menjurus kepada penutupan lokalisasi, menurut PSK, hanya formalitas saja.
Menurut sepengetahuan YN, pemerintah banyak mendapatkan uang dari hadirnya lokalisasi itu.
“Kenapa kok pemerintah mengeluarkan aturan begitu. Memangnya pemerintah mau dapat uang dari mana? Mereka kan juga dapat duit banyak dari sini (lokalisasi),” kata perempuan asal Jawa Timur itu, Kamis (12/11/2015) kemarin.
Pengakuan mengejutkan disampaikan YN saat menanyakan mengapa ia memilih menjadi PSK.
YN mengatakan bahwa selain karena tidak ada pekerjaan lain, kerja menjadi PSK dapat enak dua kali.
“Enaknya dua kali. Dapat duit, dapat enak juga, ha.. ha.. ha..,” kata janda beranak satu itu lalu tertawa.
Sudah setahun lebih YN menjalani profesinya sebagai PSK.
YN mengaku tidak diketahui oleh ibu kandungnya ke Bali untuk jadi PSK.
Jika ibunya sampai tahu, ia pasti dimarahi dan dilarang bekerja sebagai PSK.
“Kalau ditauin ya marah ibu saya. Ibu saya di Jawa jagain anak saya,” tuturnya.
Pungli Lokalisasi di Sanur Rp 1,8 Miliar per Bulan
DENPASAR - Salah satu Wakil Ketua DPRD Kota Denpasar asal Sanur, I Wayan Mariyana Wandhira mengungkapkan, pada tahun 2008, seluruh lokalisasi yang berada di wilayah Sanur, Denpasar, Bali, sempat hendak ditutup.
Waktu itu, para pemilik kompleks, pengusaha panti pijat plus-plus, bungalow, dan lain sebagainya sempat demo.
Waktu itu, ketua komunitas lokalisasi di Sanur melaporkan ke Wandhira bahwa setiap hari mereka diminta Rp 60 juta per hari atau Rp 1, 8 miliar per bulan oleh seorang oknum.
“Setiap malam, uang yang beredar kepada mereka yang melakukan pungutan-pungutan liar kurang lebih Rp 60 juta. Mereka datang melaporkan hal itu ketika ada rencana penutupan tempat itu (pada tahun 2008). Itu setiap malam, sekarang kalikan 30 hari, berapa jadinya? Dan, satu tahunnya berapa itu?” ungkap Wandhira, Kamis (12/11/2015).
Namun demikian, Wandhira enggan mengungkapkan apakah pungutan liar itu dibayarkan kepada pemerintah atau bukan.
Ia hanya mengungkapkan bahwa pungutan liar tersebut dibayarkan kepada oknum-oknum.
Ceritanya, tutur Wandhira, pada tahun 2008, sempat ada wacana dari pemerintah bahwa lokalisasi di daerah Sanur, baik kompleks, bungalow, dan lainnya akan ditutup.
Pada waktu itu, para pemilik usaha maksiat itu berkumpul dan membuat semacam komunitas untuk memperjuangkan usahanya.
Pada waktu itulah, salah satu ketua komunitas itu berkeluh kesah kepada Wandhira bahwa setiap hari mereka rata-rata dimintai Rp 60 juta oleh para oknum.
“Waktu itu mereka menyampaikan sebegini loh sebenarnya saya menghabiskan uang. Lalu saya tanya larinya ke mana uang itu? Terus dijawab, tidak usahlah bapak tahu, yang penting pengeluaran kami itu segitu per hari,” tutur politisi asal Sanur ini.
Terkait keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar No 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum dan pada pasal 39 secara eksplisit mengarah kepada penutupan lokalisasi, Wandhira mengaku sangat mendukung.
Namun, dengan syarat Pemkot Denpasar harus benar-benar memperhitungkan bagaimana dampaknya apabila tempat prostitusi itu ditutup.
Sebab, sesuai pengamatannya, banyak usaha-usaha yang bergantung pada kawasan lokalisasi itu.
“Misalnya, usaha rumah makan, usaha antar jemput, rumah kos, salon kecantikan, dan lain sebagainya. Dengan aturan ini, akan banyak imbasnya terhadap mata pencaharian. Karena ketika pemerintah ingin menerapkan perda ini, harus benar-benar dipikirkan, diperhitungkan, agar jangan sampai ketika akan menertibkan prostitusi dan lain sebagainya justru akan menimbulkan tindakan-tindakan kriminal lainnya,” kata Wandhira.
Perda Prostitusi Dinilai Persulit Langkah Pegiat HIV/AIDS
DENPASAR - Rencana Pemerintah Kota Denpasar memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum mulai tahun 2016 mendatang memantik reaksi dari berbagai kalangan, antara lain dari pegiat HIV/AIDS dan para pekerja seks komersil (PSK).
Novian, Koordinator Harm Reduction Yakeba, salah satu pegiat HIV/AIDS di Denpasar, pesimistis penerapan perda itu akan menurunkan angka prostitusi di Kota Denpasar.
Prostitusi, kata Novian, akan terus ada.
Bahkan, yang ia takutkan, pelaksanaan perda itu justru memunculkan jenis prostitusi baru.
"Ya, jelas, perda itu tidak akan menyelesaikan masalah, terutama menurunkan angka prostitusi di Kota Denpasar," ujar Novian di Sekretariat Yakeba, Jalan Ciung Wanara IV, Denpasar, Bali, Kamis (12/11/2015).
Prostitusi baru itu bisa berupa online dan jenis lainnya yang dilakukan sembunyi-sembunyi.
Pola ini justru menyulitkan langkah para pegiat HIV di lapangan untuk melakukan pendataan.
Terlebih, jenis prostitusi tersembunyi akan susah dijangkau oleh mereka.
"Jenis transaksinya tersembunyi, orangnya juga kami tidak tahu. Kami khawatir nantinya jumlah penderita HIV atau penyakit menular seksual lainnya tidak bisa diidentifikasi karena sifatnya tersebut," katanya.
Susahnya akses ini kemudian berakibat pada makin tak terkendalinya penularan HIV di Bali.
"Inilah yang tidak kami harapkan. Jangan sampai penerapan perda tersebut justru berakibat demikian. Terlebih saya dengar denda yang diterapkan kepada penyedia jasa prostitusi sangat besar," terangnya.
Berbeda dengan prostitusi terselubung, diakui Novian, prostitusi seperti yang terjadi di lokalisasi jauh lebih mudah dikontrol.
Sebab, di lokalisasi pelakunya jelas, jumlahnya jelas.
Kondisi ini akan memudahkan para pegiat HIV dalam melakukan pendampingan terhadap para pekerja seks.
Novian meminta pemerintah Kota Denpasar untuk melihat persoalan itu secara komprehensif, jangan melihatnya dari satu sisi.
Lihat dasar dari persoalan itu.
"Jangan sampai perda ini justru memunculkan masalah baru," jelas dia.
Khusus untuk penularan HIV, Novian menambahkan, problem sebenarnya pada perilaku seksual para pelaku prostitusi.
Kesadaran orang untuk melakukan hubungan seks secara sehat.
"Kalau di lokalisasi, ya pakai kondom. Di Denpasar dan Bali pada umumnya kesadaran penggunaan kondom sangat rendah," jelas Novian.
sumber : tribun